RSS

I have a papercraft, Russia papercraft from my best friend. I love it so much cuz it's the first time i didn't make it dent while bring it frome my friend's home.
One day, I found it in my bedroom floor in VERY MIZERABLE condition

AAAAAAAAAAARRRRRRRRRRHHHH!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

RUSXAME cought in
China: OO...papa.....now you've daring to do affair, aru?
England : I, i can't believe that i;ve been betrayed....*thinking of hoodoo doll*
*disguised* Norway: . . .

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

About my Denzel


Siapa bilang biola itu adalah alat musik yang penuh dengan kelembutan?? (Gue rasa)Salah besar!
Selama ini jelas terlihat paradigma masyarakat tentang sebuah alat musik bernama biola. Selain merupakan alat musik yang diciptakan oleh seorang Italia bernama Antonio Stradivari, juga sebuah instrumen yang dapat membuat pemainnya terlihat manis dan lembut.  Hahah. Makanya, para gadis-gadis remaja notabene merasa excited dengan instrumen tersebut. Kayak temen gue yang kadang-kadang suka bergaya a la violinist walau dia sendiri belum penah megang biola sekalipun. Pas gue tanya, kenapa dia kok gitu, padahal gua tau dia ga begitu peduli ama musik, eh jawabannya :
“Karena cewek yang lagi main biola tu keliatannya manis banget”.
“…….”
Cloud : “Ck. Nonsense abis.”
Amno : “?!! Kapan lo dateng? Nyambung aje lo”
Cloud : “baru, lha, bukannya elo manggil gua tadi buat kitsching disini?”
Amno : “Kitsching…mang fanfic??”
Cloud : “Laiya, kitsching pan artinya ikut-ikut ngomen. Woy, udahan dulu bacotnya napa, reader maonya mbaca tulisan lu soal biola, bukan soal fanfic”
Amno : “Hieleeeh, you made me, bro….”
Dan juga, masih inget gak ama iklan ponds dulu yang afgan ngejar-ngejar cewek trus ketemu di tanpa sengaja  di jalanan? Nah, cewek itu dikarakterkan (halah) sebagai cewek penyuka bunga yang lembut. Plus seorang violinist.
Cloud : “Nahlo . Itu dia.”
Amno : “Trus, ada seorang temen gue yang kepingin beli cello. Tapi, niatnya itu sempat dipandang sebelah mata ama keluarganya dengan alasan gini ; Kenapa ga biola aja sih? Pemain biola tu keliatan sekseh loh. (baca:Kami-maunya-kamu-jadi-violinist). Padahal, emang orangnya sendiri gag suka biola karena..hmm…bising katanya. Temen-temen gue yang laen juga sama aja, kalo disuruh milih pake instrumen apa, pasti dah refer ke biola. Ga usah tanyain deh kenapa. Bisa ditanggung kalo alasan mereka sama ama pren gua yang paling atas.”
Cloud : *manggut-manggut*
Hoke, back to the main theme. Nah, gue bilang biola itu sama sekali nggak “penuh kelembutan”. Karena, untuk bisa jadi seorang violinist, kita harus tahan dalam menaklukkan biola itu sendiri. Dan itu sama sekali ga semudah tepuk tangan (*?* ya iyalah).  Kalo bicara soal kesabaran, nah itu baru betul. Mutlak betul. Menjadi violinist pro bukan hanya dari latihan dan latihan, tapi juga dari sikap dalam memperlakukan instrumen juga yang paling penting, rasa dan pengetahuan soal instrumen itu sendiri. Tau ga, pengetahuan apa yang paling penting dan lebih penting daripada nama pencipta biola pertama?
Cloud : “How to tunning your violin. Ya tho??”
Itu yang paling penting.
 Ya kan? Hal itu juga yang masih ngeganggu pikiran gue.
Kayak yang kita tau, stem-an biola tu dimulai dari senar keempat (senar paling tebel) itu sol, trus re, la, yang terakhir mi. Nah, mari kita nyetem! Haha…tunggu dulu…solrelami ya solrelami…tapi…distemnya sampai senarnya kencang atau bener-bener kencang?
Cloud : “Hyeee…. Mang ada yang kayak gitu?! Apa bedanya?”
 Amno : “Eh, ada lho bedanya. Coba aja pake biola langsung.”
 Masalahnya gini, dengan senar kencang, kita  bakalan ngerasain “kelembutan” biola, karena memang  jenis senarnya begitu. Tapi, nada yang dihasilkan berada pada ambitus (range jangkauan) alto, sama ama viola
Cloud : “Berdasarkan frekuensi, ada beberapa tingkatan, dimulai dari bass yang paling rendah, bariton yang ada pada cello, alto yang merupakan  suara wanita terendah, ada pada viola, disusul tenor, lalu yang paling tinggi yaitu sopran. (Biola ada pada sopran).”
 Amno : “Kalo gitu bukan biola dong namanya? Lagian, suaranya terdengar jauh lebih “ringan” daripada suara biola pada umumnya.”
Yang kedua, dengan senar benar-benar kencang. Mantep. Itu baru namanya suara biola. Tapi…selalu ada tapi.
…Senarnya keruaaassssh dan movement antar nada pun kerasa berat…
Hauuuuuuuuu
Kalo kita melemahkan tekanan jari ke senar, dikiiiit aja, sumbang jadinya. Itu baru buat mindahin satu nada. Belom mikirin bowing (menggesek) segala. Gimana kalo kita mau mainin lagu dengan tempo yang mukegila macam 24 Caprice-nya Oom Paganini ato Bach prelude-nya Mbah Bach-tiar?
Cloud : “Lha elo baru sebulan megang biola mikirnya `belajar-mainin-caprices-mainin-caprices-aja-dulu-sebelum-mainin-lagu-klasik-lain`. Ngimpi tingkat wahid looooe…. “
Amno : *cuweks*.
Gue sih nggak yakin alasannya adalah karena senar biola gue yang jelek. Senar temen gue yang jauh lebih bagus aja kayak gitu kok, tapi memang rada lentur dan enakan.
Yeah, itu dia yang sempat bikin gua frustasi. Karena apa, sejujurnya gue dapetin Denzel a.k.a violin gue tersayang juga ga gampang. Coz ortu yang ga begitu merestui gara-gara gue udah pernah beli gitar trus dianggurin ga jadi apa-apa karena merasa ga sreg. (Apa hubungannya antara senar dan cara ndapetin Denzel hayoo?)
Cloud : “Pantes aje, pemirsa, pantes. Salah dianya sendiri juga yang hangat-hangat tokai ayam.”
Amno : “Diem lu! Dasar manusia jengger ayam! *ngambil tai ayam di depan rumah trus dilemparin ke muka Cloud*”
Cloud : “Heiwww ga kenaaa!!!!” *joget-joget pak lurah menang pilkades* (Cloud : “P.S….eh cuy, gue ni cochobo, bukan ayam. Eh, lo pikir masih sodaraan yak?? Hmm…*buka-buka silsilah keluarga dengan alis ditekuk*”)
 Gue berusaha gimana caranya ngumpulin uang jajan sedikit demi sedikit dengan perjuangan yang ….eeerrggghh.
Cloud : “Yak, pemirsa, author kita yang mempunyai kamar menyerupai kamar Megumi Noda ini memang hanya diberi uang jajan goceng sehari…cek-cek-cek….”
 Lagi, kenapa gue bulet banget milih biola? Jawabannya adalah karena  biola-senarnya-lebih-soft-daripada-gitar-jadi-nekannya-lebih-gampang-gue-ga-peduli-ama-bowingnya *huuuuuuu, tapi gue emang suka biola kok terlepas dari alasan apapun. banget, suwer*. Tapiii setelah tau-tapi-ga-tau-tau-amat  nih bahwa senar biolapun ternyata sekeras senar gitar, …..dilemalah saya. Gue jadi stress sendiri, dan pikiran gue berkecamuk dengan kemungkinan terburuk bahwa: Sebenarnya gue ga cocok karena bisa-bisanya abut dengan alas an macam gitu  sedangkan sobat sayah, Roti (-nama disamarkan-) yang memang dari awal hobi menaikkan steman semaunya sampai senarnya sekeras sendok (ha?maksa) sama sekali ga ada masalah soal itu dan progressnya bagus banget . Malah kalo nyetem a la kencang dia jadi ga tahan pengen naikin ke satu oktaf lebih tinggi.
Cloud : “Oh yo. Ktanya yang kencang itu emang lebih nggigit dan gue rasa gregetnya biola emang ada pada frekuensi itu. Tapi jangan-jangan senar doski bagusan?”
Amno : “ya nggak no. Wong biola yang gue pake ya bekas `korban`nya dia dulu, alias bekas punya Roti yang kata gua sering distem ala bener-bener kencang diatas.”
Cloud : “Hoooo…sekenan rupanya”
Amno : “Apa sih?? Ga masalah kalii…gue uda jatuh hati ama Denzel dari pertama Roti nunjukkin dulu sampai sekarang! Dan gue emang pernah ngimpi buat memilikinya…. DENZEL AY LAP YUW AI SHITERUUUUHH!!!!!!!!!!!”
Denzel (?) : “…ngrok…fhiuuuu…..” *tidus dengan tenangnya di dalam box hardcover yang digantungi oleh-oleh from Banora, eh, ups!* (author bacot mode:active please for together goodness ga usah dimasukin ke ati)
Walo keras, tapi di setiap perpindahan nada kita juga harus hati-hati dan sehalus mungkin. Jangan sampai karena ingin memaksimalkan tekanan pada fingerboard, pelepasan dan pengambilan nadanya jadi nggak enak didengar. Jadi, bermain biola adalah memadukan kekuatan (power) dan kelembutan. Plus ekstra kesabaran. Kedua hal itulah yang mungkin membuat aura seorang violinis  terlihat sebegitu mengagumkannya.
Cloud : “Masalah lo tuh. Mau ngontrol melodi eh malah sia-sia karena nggak ada powernya. Mau nambah power malah over limit kayak orang kesurupan.”
Amno : “O, oke…hokee…well, tapi artinya gue lumayan punya kesabaran paan??? Pan?? Ayo, ayo, berjujur hatilah pada adikmu ini”
Cloud : “…….Apaan,…. kedua brother u ribut dikit langsung ngamuk. Tapi kalo untuk Denzel….yeah…mungkin karena lo mempersonifikasikan biola u  dengan manusia berimej macem Denzel (yang ga tau karakteristik Denzel dari Final Fantasy VII, search aja lewat Mbah Gugel bentar) , jadi ga tega juga.”
Cloud`s mind : Adik what…najong euy
Amno : “Kali yak?? Makanya, sesuai tips dari Naom-senpai (guru biola gue), sebaiknya kita menamain instrumen kita supaya bisa lebih `mengakrabi’ instrumen tersebut. Terserah aja apa namanya, tapi gue ma temen gue milih nama berdasarkan pengharapan imej sih, supaya lebih real. Misalnya temen gue yang ga mau namain cellonya `Zack` karena takut mati, err…rusak c=,=”a. Masalahnya udah seringkali kami ditunjukkin bahwa `NAMA ADALAH DOA`, dulu kami namain Zack ke anak kucing di sekolah, eh mati beneran. Namain Cloud ke anak kucing, eh, boncel kucingnya kayak elo, pertumbuhan terhenti. Ah, sering dah pokoknya.  ”
Amno : Halah gue adopsi jadi aniki aja belagak lo….
Cloud : “Hoy, gua gak boncel, dasar The_Kill Queen! Nah elo, kenapa namain biola lu Denzel coba? Mau biola lu rusak kena Geostigma?”
Amno : “Semprul loh. Meneketehe, pertama kali ngeliat tuh biola yang terbersit di kepala ya anak itu.”
Cloud : “……”
Kembali ke leppi: Fakta yang gua dapet adalah, bermain biola itu modalnya bukan Cuma KELEMBUTAN dan KESABARAN, tapi juga, yang puenting buangte, POWER. Itu musti kudu wajip ada, g terkecuali pas kita mainin lagu yang mellow. Coba liat aja Vanessa Mae,  keliatan bahwa di setiap shownya dia pake power yang ga sedikit. Ahem, misalnya ada dua cewek yang dengan music talent, kesabaran dan minat yang sama belajar biola, yang satu lembut-kalem dan yang satu tomboy-aktif, gue lebih yakin kalo si tomboy-aktif progressnya lebih baik daripada si lembut-kalem. Ya karena itu, power adalah salah satu unsur penting bagi anda, calon- calon violinis harapan bangsa sekalian.(*cloud : lebay*). Sekian dari saya, maaf jika terdapat kata-kata yang over-bacot ato…
BTOOK!!!! (tiba-tiba sebentuk rosin biola menghantam gigi author dengan nistanya…)
Amno :”HAAAUUUUU!!!! Appaaan elo sih, eh, sih elo Cloud??!!”
Cloud : “Ada nyang kelupaan, jangan asal tutup aja,sis.”
Amno : “Hn…apa yak???”
Cloud : “Masa muda udah pikun, gemana sih kamyuw?”
Amno:”…..”
                “daripada elu, lha, masa muda udah kurang bahagia. Gimana seh kwamyu?”
Cloud : (*pundung di pojokan dapur*)
Amno : “Ah! Got it!”
Biarpun senarnya keras, nanti lama-lama bakal terbiasa juga kok. Malah kalo reader udah terbiasa ngontrolnya, kalian pasti mikir “Voila! ini dia yang namanya suara biola! Yahuyahuyehyeeeeehhhhh!!!!” (yang “yehyeh” tu Cuma kalo kalian adalah author bejat bernickname Amno). Lagian nih, kalo gue ga salah ngerasainnya, lama-lama senarnya `melunak` sendiri kok dan bikin efek “biola”nya betul-betul kerasa. Masih ada lagi yang puaaaaling fuenting….semangat pantang menyerah! Pokoknya kalo emang serius, jangan pernah merasa bosan atau putus asa.
 Ganbatte!!! Gonna Never Give Up is the Main Key to have!!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

My life inside the living place

Aku pernah bilang, mungkin kehidupan perkelas-an ku kurang bagus. Yaaah....sekarang baru aku merasakan bagaimana itu 'disisihkan', 'dipandang dengan tatapan aneh dan direndahkan', tak ketinggalan, 'tak diharapkan'. Padahal selama limabelas tahun hidupku, baru kini kualami hal seperti itu. Aku memang berbeda, tapi rasanya dulu itu bukanlah masalah. Temanku memang tidak banyak, namun aku selalu mendapatkan tempat.

Aku tak tahu pasti mengapa mereka bersikap seperti itu padaku, meski tak langsung. Mereka tersenyum,menyapaku,bertanya padaku jika membutuhkan sesuatu, tapi mereka juga seringkali mentertawakan 'public speaking'ku,dan panik saat tahu mereka sekelompok denganku.

Meski bukan lantas berarti mereka jahat, astaga, aku malah membuat mereka terlihat jahat, tidak, aku tahu mereka tidak jahat.

Mereka hanya bingung.Bingung bagaimana harus menyikapi karakterku. Aku ingin percaya begitu.

Tapi mereka hanya bisa bingung, sama sekali tak membantu. Bahkan membuatku makin sakit. Semakin sakit. Semakin frustasi.

Tapi,sungguh, aku tak membenci mereka, meski seringkali keteguhanku runtuh, dan aku lari ke belakang sekolah, menyanyi dengan miris,atau berteriak,disusul menangis. Seperti bocah yang miris. Cengeng.

Sayangnya, aku menyayangi mereka, seperti menyayangi keluargaku sendiri.

Karena apa? Karena mereka memberiku sesuatu yang berharga. Sesuatu yang tak dapat dibeli dan dicari dengan mudah.

Mereka memberiku....sudut pandang baru dalam memandang segalanya...

Bayangkan ada sekelompok anak yang sedang bermain dengan riangnya. Mereka bergandengan, membentuk lingkaran. Gembira sekali. Tiba-tiba ada seorang anak yang melihat keriaan itu, dan ia ingin ikut bermain juga. Tapi tak seorangpun yang mengerti keinginannya. Meski dia berteriak dan mengiba.
 .
Meskipun beberapa dari anak di dalam lingkaran tersenyum padanya, dengan janji akan menemaninya bermain nanti.
 Dia ikhlas, bermain di luar lingkaran, meski sendirian. Dia bermain sendiri, dan jika ia bosan, diamatinya langit, pepohonan, rerumputan, dan manusia. Dan menyadari bahwa keberadaannya akan tetap ada. Dan akan tetap ada sampai kapan pun jua.

..........................................

Mereka memberiku sudut pandang itu, bukan sebagai anak-anak yang membuat suatu lingkaran, tapi sebagai anak yang berada di luar lingkaran, mengawasi sgalanya, dalam sudut yang lebih luas. Dan bagaimana untuk menjadi jauh lebih bijaksana.

Teman-teman, meski kalian tidak, asal tahu saja, aku sayang kalian.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Someone in my living sanctuary...

Ada seseorang di kelasku yang kini membuatku sangat mencemaskannya.
Padahal, selama ini statusnya adalah 'patut diwaspadai', olehku dan sahabat-sahabatku.

Karena pernah ada suatu kejadian antara kami, kejadian yang mengguncang satu almamater,yang mengguncang hidup kami. Tapi justru di situ letak keanehannya, karena kami tak pernah saling bertegur sapa, bahkan tak ada umpatan yang bersahutan di depan muka.

Oke, lupakan 'kami'. Mungkin aku memang pernah menginvestasikan dosaku padanya. Tapi itu 'aku' yang dulu, yang dipenuhi kepolosan menggebu, meski tanpa tanda.

Selama bertahun-tahun, kuobati luka hati dan kekecewaan pada diri sendiri, sambil mengonsep tempat dan saat yang tepat untuk mengemis maaf.

Sedang ragaku, tertawa di depanmu besama teman-temanku yang gokil dan lugu,menjalani hidup. Secara ajaib dapat bersua denganmu setiap hari. Meski tak akan ada salam manis, atau ucapan selamat pagi. Dan aku senang meski kesal, karena ternyata kehadiran kita dalam satu tempat berefek buruk pada kehidupan perkelas-an ku. Meski lagi-lagi tiada untukmu lisan, tiada untukmu senyuman. Malah rengutan,yang seringkali kusajikan padamu.

Tapi karena itu kusadari sesuatu,bodoh memang, baru kusadari sekarang.

Waktu pelajaran menggambar, kudengar tenggorokanmu membentur-benturkan udara,entah buat mengusir apa,atau sekedar menggaruk gatal yang mencaploknya,aku tak tahu,saat aku duduk di depanmu,membantu temanku menggambar batu, setengah tahun yang lalu.
Terakhir kudengar suara itu, saat kau memalak salam pulang pada pak guru tersayang di belakang telinga kiriku,yang sedang absen dari headset saat itu. Kemarin.

Baru ku sadar, dalam jeda waktu setengah tahun itu setiap berada di dekat tubuh ringkihmu, kudengar udara mengutuk,karena dipaksa keluar oleh paru-parumu.

Kuharap kau tak mengiyakan;

''Teman, apa kau sakit?''

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

The Life

Pernahkah kau merasa bahwa hidupmu "kurang" dibandingkan orang lain?

Aku pernah, dulunya. Dengan egoisnya menangis dan mengatakan "mengapa?"
Aku belum sadar bahwa itulah hidup. Tapi hidup itu selalu setimbang, ada yang pergi, ada yang datang, apa yang dinamakan equivalent trade. Karena ada yang mengatur kehidupan ini.

Coba fikir, setelah kita merasa dibuang oleh kehidupan, pasti setelah itu datanglah cahaya benderang, yang menghapus airmata, dan membuat kita berucap 'aku tak percaya'. Meski, meski hanya dalam hati, hati yang sekecil-kecilnya. Sepertinya tidak pernah sekalipun manusia terus-terusan merasa sedih selama bertahun-tahun, bukankah begitu? Meski hidup susah, meski menanggung derita yang parah, manusia manapun pada waktu tertentu, meski dalam derita itu, pasti ada kalanya untuk tersenyum, atau hanya merasakan segempil kebahagiaan, dan setidaknya sejumput kecil kelegaan.

Sadarilah, kita tak pernah benar-benar dibuang oleh kehidupan.
Dan kita takkan pernah dibuang oleh kehidupan, jika kita terus percaya bahwa kita itu HIDUP.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS